Misteri Penyebab Badai


Dunia dikejutkan dengan serangan badai topan dahsyat, sekelas Katrina dan Wilma yang melanda kawasan cukup luas di Atlantik Utara. Badai sangat ganas atau topan (hurricane) yang menerjang kawasan Amerika Serikat itu berasal dari badai tropis (tropical storm). Badai yang awalnya berkekuatan rendah, dalam perjalanannya menjadi semakin kuat dengan daya hancur tinggi. Badai Katrina telah memporakporandakan sebagian wilayah Amerika Serikat (AS) bulan Agustus lalu. Belum habis trauma warga terhadap keganasan Katrina, sebulan kemudian topan Rita menyusul.

Bukan hanya kawasan AS yang sering dihantam badai. Negara-negara di Asia Timur yaitu Filipina, Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea juga sering dilanda badai dengan berbagai intensitas (kekuatan angin dan curah hujan). Indonesia termasuk negara yang mujur karena tidak pernah kedatangan badai dahsyat. Letak geografis Indonesia di garis khatulistiwa dan akibat pengaruh rotasi Bumi tidak memungkinkan badai-badai yang lahir di kawasan Filipina menuju Indonesia, apalagi menyeberangi garis khatulistiwa.

Sebetulnya badai tropis merupakan fenomena alam yang wajar saja. Akan tetapi, kini para pakar meteorologi mulai melihat pertanda yang tidak biasa. Pasalnya frekuensi angin topan dan badai kini bertambah sering, kekuatannya juga semakin mematikan, dan cakupan wilayahnya amat luas. Tentu saja para pengamat cuaca bertanya-tanya, apa pemicu gejala yang tidak lazim ini. Apakah gara-gara pemanasan global? Atau ada pemicu lain yang mempengaruhi perubahan kekuatan dan intensitas badai tersebut?

Mula-mula para pakar mengamati dengan seksama gejala pemanasan global. Berdasarkan data cuaca yang dikumpulkan, ternyata dalam 35 tahun terakhir ini, suhu rata-rata permukaan laut mengalami kenaikan antara setengah hingga satu derajat Fahrenheit.

Dalam beberapa dekade terakhir, pemantauan atmosfer dan permukaan Bumi menyimpulkan bahwa suhu rata-rata Bumi cenderung meningkat. Hal ini disebabkan antara lain oleh peningkatan dalam pemakaian bahan bakar fosil (minyak, batu bara) untuk kepentingan industri maupun konsumsi penduduk dunia. Selain peningkatan suhu dapat mengancam melelehnya sebagian daratan es di kutub-kutub Bumi, pemanasan global di luar dugaan telah menimbulkan dampak negatif lain.

Berdasarkan hukum fisika, panas adalah sumber energi. Aksioma sementara yang ditarik adalah pemanasan global berpengaruh pada meningkatnya kekuatan angin topan. Tetapi yang juga menarik, walaupun kekuatan angin topan meningkat dan wilayah yang dilandanya juga semakin luas, akan tetapi frekuensi keseluruhan badai relatif tidak bertambah. Juga sejauh ini para peneliti masih kekurangan data untuk dapat menyimpulkan bahwa pemanasan global merupakan faktor pemicunya.

Berdasarkan penelitian Peter Webster dari Institut Teknologi Georgia di Atlanta, secara umum terdapat logika, naiknya suhu rata-rata akan meningkatkan kekuatan angin topan dan badai. Para peneliti mengatakan, panas adalah energi dan energi menggerakkan angin topan. Namun sejauh ini, kaitan antara kedua fenomena itu baru berupa data statistik. Yakni, ketika suhu rata-rata naik, kekuatan angin topan bertambah hebat. Apakah fenomena pertama menyebabkan fenomena berikutnya, masih harus terus dibuktikan secara ilmiah.

Data yang dikumpulkan tim peneliti yang dipimpin Webster juga amat mencengangkan. Disebutkannya, pada tahun 1970-an di seluruh dunia rata-rata terjadi per tahunnya 10 angin topan dengan kategori 4 atau 5. Angin Topan kategori 4 atau 5 dapat mencapai kecepatan lebih dari 200 km per jam. Sejak tahun 1990-an, jumlah angin topan berkekuatan kategori 4 dan 5 naik hampir dua kali lipatnya, menjadi rata-rata 18 kasus per tahunnya. Semua fenomena ini terjadi ketika suhu permukaan air laut global juga naik, antara setengah hingga satu derajat Fahrenheit, tergantung kawasannya.

Penelitian yang dilakukan para pakar meteorologi tetap konsisten pada konsep adanya relasi antara pemanasan global dengan peningkatan kekuatan angin topan. Webster mengatakan, kaitannya amat rumit. Faktanya, amat sulit menjelaskan mengapa frekuensi dan durasi keseluruhan angin topan justru menurun, jika kenaikan suhu permukaan laut melebihi rata-rata. Karena itulah, para pakar angin topan kini memusatkan perhatian ke kawasan Atlantik Utara. Karena sejak tahun 1995, kekuatan dan durasi angin topan di kawasan tersebut meningkat drastis.

Hasil penelitian menunjukkan, jumlah angin topan kategori 4 dan 5 di Atlantik Utara meningkat drastis dalam rentang waktu yang relatif pendek. Dalam periode antara tahun 1975 hingga 1989, tercatat 16 kasus angin topan dahsyat. Sementara dalam periode antara tahun 1990 hingga 2004 tercatat 25 kasus angin topan dahsyat, atau terjadinya kenaikan kasus sebesar 56 persen dalam 15 tahun terakhir ini. Juga penelitian yang dilakukan secara terpisah, dengan metode yang berbeda oleh Prof. Kerry Emmanuel, pakar ilmu atmosfir dari Institut Teknologi Massaschussets, menunjukkan data yang nyaris identik.

Tentu saja teori baru, yang dilontarkan Webster maupun Emmanuel, tidak begitu saja diterima oleh para peneliti iklim lainnya. Misalnya saja Chris Landsea, pakar meteorologi dari pusat penelitian angin topan di Miami AS, meragukan metode pengukuran yang dilakukan Webster. Landsea menduga, berbagai data statistik yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan, lebih banyak merupakan dampak dari semakin baiknya kualitas pengamatan satelit beberapa dekade terakhir ini. Jadi kesimpulan itu bukan merupakan indikasi perubahan, melainkan indikasi dari pemutakhiran data yang lebih akurat.

Berbagai teori baru memang diperlukan untuk menjelaskan fenomena angin topan di permukaan bumi. Seperti diungkapkan oleh Webster, selain pengaruh pemanasan global suhu permukaan laut, aliran panas di samudera di dunia, juga dipengaruhi oleh arus thermo-haline, yakni arus panas yang dipicu perbedaan kadar garam di samudera. Faktor ini juga harus diperhitungkan dalam penelitian frekuensi maupun durasi angin topan. Penyebab badai masih kini masih menjadi teka-teki ilmuwan.

sumber : Disini

0 komentar: